Pengantar
Böwö adalah sebutan mahar dalam sistem adat perkawinan di Nias. Tetapi
Böwö ini telah melahirkan problem baru yang tidak selalu disadari oleh
masyarakat Nias sendiri. Keganjilan penerapan Böwö ini juga dirasakan
oleh mereka yang pernah tinggal (berkunjung) di Pulau Nias. Dan tidak
heran jika kebanyakan orang dari luar Nias yang pernah ke Pulau Nias
selalu memiliki kesan: mahar, jujuran (böwö, gogoila) perkawinan Nias
mahal! Oleh karenanya ketika mereka mau (baca: akan) menikah dengan
gadis Nias ada semacam ketakutan, keengganan, keragu-raguan. Dan, tentu
hal ini adalah kesan buruk! Ada apa dengan sistem adat perkawinan Nias?
Yang salah “sistemnya” atau “masyarakat Niasnya”?
Arti Böwö
Etimologi böwö adalah hadiah, pemberian yang cuma-cuma. Sama halnya
kalau kita memiliki hajatan, entah karena ada tamu atau ada pesta
keluarga, dsb., lalu kita beri fegero kepada tetangga kita (makanan,
baik nasi maupun lauk-pauk yang kita makan saat hajatan itu kita beri
juga kepada tetangga kita secara cuma-cuma). Ini adalah aktualisasi
kepekaan untuk selalu memperhitungkan orang lain di sekitar kita, juga
untuk mempererat persaudaraan. Oleh karenanya tak heran jika masyarakat
Nias menyebut orang yang ringan tangan sebagai niha soböwö sibai. Jadi, arti sejati böwö mengandung dimensi aktualisasi kasih sayang orangtua kepada anaknya: bukti perhatian orangtua kepada anaknya!
Lantas kenapa böwö itu kayak dikomersialkan? Indikasi
pengomersialan böwö sebenarnya gampang kita lihat. Misalnya, istilah
böwö bergeser menjadi gogoila (goi-goila: ketentuan). Malah kata gogoila
yang lebih familiar dikalangan tokoh adat Nias saat ini. Untuk mencapai
“ketentuan” tentu ditempuh cara “musyawarah”(yang dimediasi oleh siso
bahuhuo) dan sepengetahuan saya, dalam musyawah itu terjadi
“tawar-menawar” berapa gogoila yang harus dibayar oleh pihak mempelai
laki-laki. Jadi, böwö semakin direduksi maknanya: lebih dekat pada
konotasi ekonomis (ibarat aktivitas jual-beli) dan bukan pada konotasi
budaya. Dan saya percaya, jika pernyataan ini kita lemparkan ke orangtua
kita atau ke “orang zaman dahulu”, pasti salah satu jawabannya adalah:
da’ana hada Nono Niha (ini adalah adat Nias). Pernyataan semacam itu
tentu mengokohkan dimensi statis budaya Nias juga mereduksi nilai-nilai
sakral budaya Nias! Padahal seharusnya, budaya itu dinamis sesuai
perkembangan zaman. Bahkan dalam pernyataan itu seolah adat yang
terpenting dan bukan manusianya. Saudaraku, adat dibuat untuk manusia
dan bukan manusia untuk adat. Ariflah menerapkan adat yang tidak
membangun. Dulu böwö itu masih masuk akal. Mengapa? Karena sistem
perekonomian Nias masih barter. Artinya böwö dihitung berdasarkan jumlah
babi dan bukan uang. Sekarang kalau böwö itu di-uangkan, maka akan
menjadi beban kehidupan berlapis generasi, karena babi tidak murah
(misalnya, seekor babi yang diameternya 8 alisi harganya bisa mencapai
Rp 900. 000 – Rp 1 Juta).
Nah, kalau dalam gogoila (böwö) terdapat 25 ekor babi, coba Anda
bayangkan berapa juta. Belum lagi beras, dan emas (balaki, firö famokai
danga, misalnya). Padahal mencari uang di Nias sangat susah. Mata
pencaharian mayoritas masyarakat Nias adalah bersawah/berladang dan
menyadap karet (dari pohon havea). Seperti kita tahu bahwa sawah di Nias
tidak seperti Di Pulau Jawa yang sawahnya dikelola dengan baik: ada
irigasi, lengkap pestisida pembasmi hama padi. Setahu saya, rata-rata
sawah di Nias tidak ada irigasi yang dibangun oleh pemerintah atau yang
dibangun oleh swasta. Pengairan sawah di Nias cuma mengandalkan hujan!
Sedangkan menyadap karet, juga ada masalah. Karet bisa diharapkan
menjadi duit jika tidak ada hujan. Coba kita bayangkan jika musim hujan,
mau makan apa masyarakat Nias? Singkatnya, mengumpulkan dan mencari
uang di Nias yang puluhan juta, bisa bertahun-tahun.
Kebiasaan masyarakat Nias jika pesta perkawinan banyak sekali yang
harus di-folaya (dihormati dengan cara memberi babi). Selain itu, babi
pun banyak yang harus disembelih dengan berbagai macam fungsional
adatnya, misalnya: tiga ekor bawi wangowalu (babi pernikahan), seekor
babi khusus untuk fabanuasa (babi yang disembelih untuk dibagikan ke
warga kampung dari pihak mempelai perempuan) , seekor untuk kaum ibu-ibu
(ö ndra’alawe) yang memberikan nasehat kepada kedua mempelai, seekor
untuk solu’i (yang menghantar mempelai wanita ke rumah mempelai
laki-laki), dan masih banyak lagi babi-babi yang disembelih.
Selain yang disembelih, ada juga babi yang dipergunakan untuk “famolaya sitenga bö’ö“. Di sini saya sebut beberapa saja: sekurang-kurangnya seekor untuk “nga’ötö nuwu”
(paman dari ibu mempelai perempuan), sekurang-kurangnya seekor sampai
tiga ekor untuk “uwu” (paman mempelai perempuan), seekor untuk talifusö
sia’a (anak sulung dari keluarga mempelai perempuan), seekor untuk
“sirege” (saudara dari orangtua mempelai perempuan), seekor untuk
“mbolo’mbolo” (masyakat kampung dari pihak mempelai perempuan, biasanya
babi ini di-uang-kan dan uang itu dibagikan kepada masyarakat kampung),
seekor untuk ono siakhi (saudara bungsu mempelai perempuan), seekor
untuk balö ndela yang diberikan kepada siso bahuhuo, dsb (dan jika pas
hari “H” perkawinan, ibu atau ayah atau paman, atau sirege dari pihak
saudara perempuan menghadiri pesta perkawinan, maka mereka-mereka ini
juga harus difolaya, biasanya seekor hingga tiga ekor babi). Dan masih
ada pernik lain, yakni fame’e balaki atau ana’a (ritual memberi berlian
atau emas), berupa famokai danga kepada nenek dan ibu mempelai
perempuan; juga fame’e laeduru ana’a khö ni’owalu (pemberian cincin
kepada mempelai perempuan, cincin itu diharuskan emas). Singkatnya, jika
adat itu diterapkan pada zaman sekarang, maka Anda harus menyediakan
uang puluhan hingga ratusan juta rupiah hanya untuk membeli babi dan
emas belum lagi biaya pas hari “H” perkawiannya. Kalau kita melihat
uraian di atas, böwö itu dibagi-bagi. Dan, kadangkala dalam pembagian
semacam ini muncul berbagai macam perseteruan, permasalahan.
Akibat Böwö yang Mahal
a. Akibat Negatif
Ada berbagai macam problem sosial dan juga ekonomi yang disebabkan oleh
mahalnya böwö di Nias. Di bawah ini saya akan menguraikan beberapa
argumen berdasarkan fakta yang memang saya dengar dan alami (terutama di
Kecamatan Mandrehe).
Pertama, akibat negatif dari böwö yang mahal adalah
kemiskinan dan pemiskinan. Alasannya boleh dilihat dalam uraian akibat
negatif berikutnya.
Kedua, akibat mahalnya böwö, orangtua si anak bukan lagi
bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan anaknya, tapi mereka
bekerja untuk membayar utangnya, membayar böwö yang dibebankan
kepadanya. Bahkan utang böwö yang belum sempat terbayarkan oleh orangtua
si anak mesti si anak harus bersedia membayarnya. Mahalnya böwö semakin
diperparah sejak masyarakat Nias mengenal uang, karena böwö juga
diuangkan. Mempelai laki-laki yang tidak mampu mencukupi nilai böwö yang
harus ia bayar, tidak ada pilihan lain baginya selain meminjam. Anda
tahu yang namanya pinjaman pasti ada bunganya perbulan. Dan, lingkaran
semacam inilah yang menyebabkan banyak keluarga Nias hanya bekerja untuk
membayar bunga utangnya.
Ketiga, mungkin kita pernah mendengar cerita Nono Niha yang
berani melakukan pembunuhan hanya karena tidak dibayarkan kepadanya böwö
yang sudah dijanjikan. Ini adalah akibat sosial yang sangat fatal dari
böwö yang mahal. Hanya demi seekor babi atau berapalah itu, ia berani
menghabiskan nyawa orang lain dan harus mendekam di penjara. Ini sungguh
memilukan sekaligus memalukan.
Keempat, akibat keempat ini masih ada kaitannya dengan
akibat kedua di atas tadi. Kerapkali mempelai laki-laki jika menikah,
apalagi dari keluarga yang pas-pasan (tidak mampu), terpaksa menjual
tanahnya, menjual sawah-ladangnya, bahkan bila kepepet ia juga meminjam
sejumlah uang atau menyusun kongsi (kalau di Mandrehe, pas acara femanga
ladegö, pihak dari mempelai laki-laki mengajak semua pihak untuk
membantunya dan pada saat itu babi mesti disembelih sebagai tanda
pemberitahuan kepada orang-orang yang akan menolongnya/yang mau
memberikan kongsi). Jangan salah, jika meminjam uang, bunga bukan main
bung. Dan, itu tradisi buruk Nias selama ini. Masyarakat Nias seolah
melingkarkan tali di lehernya sendiri. Atau seperti seorang yang
menggali lobang, ia sendiri yang jatuh ke dalamnya. Coba kita bayangkan,
tanah habis dijual, masih ngutang lagi. Lalu di mana keluarga baru ini
mengadu nasib, mencari nafkah sehari-hari? Mungkin ada yang masih rendah
hati : menjadi kuli kepada orang lain. Dan, hal ini adalah «perbudakan»
yang disengaja, yang kita buat sendiri walaupun sebenarnya bisa kita
hilangkan, bisa kita atasi dengan tidak menerapkan sistem böwö yang
mahal.
Kelima, jika orangtua masih berada dalam lingkaran «utang»
sudah bisa dipastikan bahwa para orangtua tidak mungkin bisa
menyekolahkan anaknya. Lantas kapan pola pikir Nias bisa ber-evolusi,
berkembang, dinamis jika terjadi ke-vakum-an seperti ini, hanya karena
böwö yang mahal itu. Melihat penerapan böwö yang tidak menguntungkan
itu, sebaiknya para orangtua yang berasal dari Nias (apalagi mereka yang
masih menerapkan böwö yang mahal) mesti menyadari apa tugas pokok jika
sudah membentuk keluarga. Selain itu, mesti disadari: apa arti böwö yang
sebenarnya. Saya rasa ada benarnya jika böwö adalah salah satu faktor
utama kemiskinan di Nias secara turun-temurun. Boro-boro si orangtua
menyekolahkan anaknya, utang böwönya saja belum lunas. Hal ini menjadi
kendala bagi orang Nias sendiri untuk mencetak generasi penerus yang
berpendidikan. Dan, jika demikian, jangan kaget jika berapa puluh tahun
lagi Nias tidak akan mungkin membenahi kekurangan sumber daya
manusianya.
Keenam, apakah Anda bahagia jika memiliki utang ? pasti
tidak. Bagaimana suasana hati Anda jika memiliki utang? Pasti tidak
tenteram, apalagi kalau setiap minggu, bulan ditagih. Ini suatu ancaman.
Jika demikian, orang yang memiliki utang, juga pasti selalu tenggelam
dalam kegelapan, bukan lagi kebahagiaan (tenga fa’owua-wua dödö ni
rasoira ero ma’ökhö bahiza fa’ogömi-gömi dödö). Ketidak-tenteraman hati
seperti ini bisa merembes ke sasaran lain: suami-istri sering
bertengkar, suami menyalahkan istrinya yang memang pihak penuntut böwö;
orangtua dan anak saling bertengkar, berkelahi; orangtua sering memarahi
anaknya. Maka jangan heran jika banyak keluarga di Nias yang “makanan”
sehari-harinya adalah “broken home”, perseteruan. Lalu kapan sebuah
keluarga mempraktekkan cinta sebagai suami-istri, jika situasinya
seperti ini? Marilah kita menjawabnya sendiri-sendiri!
Ketujuh, böwö identik dengan pemberian sejumlah harta benda,
sejumlah uang, sejumlah babi yang harus ditanggung oleh pihak mempelai
laki-laki. Nah, jika demikian, apa bedanya sistem böwö Nias ini dengan
perdagangan perempuan dan perdagangan anak? Menurut saya, jika para
orangtua memiliki motif bahwa böwö (gogoila) dijadikan sebagai modalnya,
maka pada saat itu mereka termasuk dalam lingkaran perdagangan anak
mereka sendiri. Dan hal ini bertentangan dengan hak azasi manusia!
Tendensi perdagangan anak dalam system perkawinan Nias sebenarnya sudah
mulai kelihatan. Misalnya, mempelai perempuan sering disebut sebagai
böli gana’a (pengganti emas). Jadi seolah-olah perempuan itu sama dengan
barang!
b. Akibat Positif
Pihak mempelai laki-laki, sebelum hari “H” perkawinan selalu
mengumpulkan semua kerabatnya (seperti fadono, sirege, fabanuasa). Tentu
dengan tujuan agar mereka-mereka ini bisa menolongnya, bahu-membahu
menanggung böwö. Dari sisi ini ada juga beberapa hal positif.
Pertama, kekerabatan, fambambatösa, fasitenga bö’ösa semakin
terjalin, semakin harmoni. Dan, menurut kepercayaan Nias, semua
“fadono” yang taat kepada matua nia (mertua) akan diberkati (tefahowu’ö)
dan mendapat rezeki.
Kedua, fadono selalu diingatkan akan kewajibannya. Hal ini
bisa jadi menumbuhkan kesadaran akan “tanggung jawab” yang sejati dari
para fadono. Dalam sistem adat perkawianan Nias, fasitengabö’ösa,
fadonosa atau fambambatösa terjadi selama 3 generasi. Dalam sistem adat
Nias (khususnya di Mandrehe) mempelai laki-laki memiliki kewajiban untuk
selalau menjadi soko guru (tiang) bagi saudara mempelai perempuan
(saudara dari istrinya yang dalam bahasa Nias disebut la’o). Misalnya,
jika salah seorang saudara dari mempelai perempuan menikah, si mempelai
laki-laki mesti membantunya. Di satu sisi ini baik. Tetapi di sisi lain,
hal ini membebankan.
Ketiga, dengan böwö yang mahal, setahu saya para orangtua di
Nias tidak mudah cerai (tetapi jangan-jangan karena orang Nias sendiri
memang tidak biasa bercerai).
Melihat ambivalensi (negatif dan positif) böwö seperti yang terurai
di atas, maka sebanarnya penerapan böwö yang mahal lebih banyak sisi
buruknya, sisi negatifnya. Oleh karena itu, di bawah ini saya
menguraikan bagaimana “problem solving”-nya.
Problem Solving
Pada bagian terakhir ini, saya juga mencoba mencari solusi yang perlu
direfleksikan (baca: diinternalisasikan) oleh semua masyarakat Nias,
niha khöda.
Tesis Pertama, lalu bagaimana adat ini, apakah harus tetap
diterapkan? Kalau menurut saya secara ritual adat Nias tidak boleh
ditinggalkan begitu saja, karena ini warisan berharga dari leluhur Nias.
Ritual dalam arti: penghormatan kepada paman, kepada saudara, kepada
ibu mertua, kepada nenek, kepada penatua adat, dst.. Jadi, dimensi
kultik dan etis budaya Nias tidak boleh ditinggalkan begitu saja, malah
seharusnya kita dilestarikan.
Namun yang perlu diperhatikan adalah bentuk penghormatan itu bukan
dengan material, bukan dengan pemberian babi yang sekarang tergolong
mahal di Nias (tetapi jika ada keluarga yang mampu dengan penghormatan
secara material, silahkan saja yang penting jangan sampai pemberian itu
adalah hasil pinjaman yang justru menjadi utang berlapis generasi).
Bentuk penghormatan itu bisa melalui perhatian, menolong kerabat, mertua
dikala mengalami situasi yang memang memerlukan bantuan tenaga manusia.
Jadi, penghormatan itu lebih pada hal spiritual, afeksional, sosial dan
bukan material-ekonomis. Dan, yang harus selalu dilestarikan oleh orang
Nias adalah budaya, seperti: maena, tarian (tarian baluse, tari moyo,
hoho, dst.), fame’e afo, ni’oköli’ö manu, dst. Sangat disayangkan,
akhir-akhir ini justru tarian maena semakin hari semakin tidak dikenal
lagi oleh generasi muda Nias. Padahal, tarian maena adalah salah satu
tarian rakyat Nias yang kalau dilestarikan secara benar menjadi ciri
khas dan kebanggaan Nias.
Setiap orangtua pasti bahagia jika anaknya menjadi “orang”. Namun,
jika para orangtua Nias belum menyadari bahwa böwö itu sangat
membebankan maka saya kurang tahu sampai kapan masyarakat Nias akan
menyadari bahwa pola pikir semacam itu justru menenggelamkan orang ke
lembah kemiskinan. Pengalaman saya sendiri, kadang-kadang böwö itu
diperebutkan antara pihak paman, talifuso, dan juga so’ono (dari pihak
saudara dan juga orangtua mempelai perempuan). Ironisnya (masih terjadi)
babi-babi yang mereka terima itu dijadikan sebagai modal. Ini komersial
bung dan apa bedanya dengan “perdagangan anak”? ini bukan
melebih-lebihkan, hal ini sungguh terjadi pada zaman dahulu kala (dan
mungkin sampai sekarang, walaupun tidak sebanyak dulu).
Tesis kedua, setiap orangtua yang berpendidikan mencoba
menjadi pilar untuk mengubah tradisi Nias yang justru membebankan.
Mula-mula para orangtua itu mesti melakukan penyuluhan kepada anaknya
dan oleh karena itu juga jangan mereka terapkan böwö yang mahal kepada
anak mereka sendiri. Tidak selamanya bahwa budaya itu positif dan
manusiawi. Misalnya, budaya orang-orang Eskimo yang menyembelih orangtua
mereka jika sudah tua. Menurut masyarakat Eskimo, tindakan mereka ini
memiliki nilai yang tinggi: mencoba menyelamatkan orangtua mereka dari
penyakit tua yang bisa membawa pada penderitaan. Bahkan tindakan itu
adalah salah satu bentuk perwujudan penghormatan kepada orangtua. Budaya
Mangayau di Kalimantan (tradisi memenggal kepala orang, dan ternyata
hal ini terjadi di Nias pada zaman dahulu). Seperti kita tahu bahwa
menghilangkan nyawa orang lain, bertentangan dengan hukum kodrat yang
dikenal oleh orang Kristen, terutama dalam gagasan Santo Thomas Aquinas:
Hukum kodrat adalah pemberian dari surga, anugrah tertinggi dari Allah
yang tidak bisa diciptakan oleh manusia. Manusia lahir dan mati, itu
adalah hak Allah.
Tesis ketiga, tokoh agama harus terlibat dalam memberikan
penyuluhan kepada masyarakat Nias yang masih menerapkan böwö yang mahal.
Sebagai orang Nias, saya berterima kasih (juga salut) kepada Pastor
Mathias Kuppens, OSC (misionaris Ordo Sanctae Crucis, berkewarganegaraan
Belanda), yang cukup antusias untuk memberikan pemahaman kepada orang
Nias (terutama di Kecamatan Sirombu dan Mandrehe) bahwa böwö yang mahal
tidak membangun. Beliau adalah salah satu tokoh agama Katolik yang cukup
berhasil “menekan” jumlah besarnya böwö dengan cara-cara yang
persuasif. Namun, perjuangan beliau bukan tanpa hambatan. Ada beberapa
orang Nias yang pernah melontarkan kata-kata pedas, mencoba menentang
kebijakan Pastor Mathias, sang pencinta Nias itu. Tetapi Pastor Mathias
menanggapi dengan tindakan yang diwarnai kerendahan hati: ia tidak
pernah berprasangka negatif (tidak su’udzon) walau ia dicerca. Ini luar
biasa!
Tesis keempat, Dinas Pendidikan Kabupaten Nias dan Nias
Selatan, seharusnya memikirkan bagaimana jika penyuluhan tentang böwö
diajarkan di sekolah sebagai pelajaran “muatan lokal” atau semacam
pelajaran “ektra kurikuler”. Menurut saya, böwö dan juga adat Nias yang
lain perlu dijelaskan kepada generasi muda agar mereka kelak mengerti
dampak ambivelensi adat Nias itu sendiri. Dan oleh karena itu, mereka
kelak bisa menegasi hal-hal yang tidak membangun dari adat Nias itu
sendiri; sehingga budaya Nias tidak mandeg pada ke-statis-an melainkan
berkembang (dinamis). Dan, tugas ini tentu didelegasikan kepada para
guru yang mengajar: mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi.
Sistem Adat Perkawinan Nias: Salah Satu Penyebab Kemiskinan Masyarakat Nias?
Posted by Unknown
Posted on 06.47
with No comments
0 komentar:
Posting Komentar